Wakaf Hijau (Green Waqf) sebagai Revolusi Ekologis Dalam Bingkai Spiritualitas

Opini 20 September 2024
image

Pernahkan kita sedikit merenung dan berpikir, bahwa kita sedang menggali kuburan kita sendiri di bumi ini? Ketamakan kita atas sumber daya alam telah mengubah hutan-hutan menjadi lahan tandus, meracuni lautan dengan pencemaran pabrik dan sampah plastik, serta mencemari udara hingga tak lagi layak dihirup. Belum cukupkah bagi kita untuk merasakan betapa mengerikannya perubahan ekstrem yang terjadi di dunia saat ini?

 

Kekhawatiran ini bukanlah tanpa alasan. Mari kita lihat data berikut yang menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2023, suhu rata-rata global telah meningkat sebesar 1,10 celsius sejak era pra-industri. Peningkatan ini berdampak signifikan terhadap iklim dan ekosistem. Di Indonesia sendiri, laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, luas hutan Indonesia berkurang hampir 24 juta hektar, akibat dari deforestasi yang tidak terkendali. Fenomena ini telah memicu perubahan iklim dan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan yang tanpa kita sadari semakin sering terjadi. Udara yang seharusnya menjadi sumber kehidupan kini malah menyesakkan dada, memaksa kita untuk menggunakan masker setiap kali keluar rumah. Krisis air bersih semakin akut, kelaparan merajalela akibat kekeringan yang melanda berbagai belahan dunia. Kenaikan permukaan laut setiap harinya mengancam jutaan penduduk pesisir dan kota, banjir terus terjadi dan memaksa penyintas mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Di masa depan, ancaman pandemi tidak hanya datang dari varian virus, tetapi juga dari bencana alam yang terjadi secara bersamaan dan mengancam keberlangsungan peradaban. Lantas, kita ingin berbenah atau hanya menunggu punah?

 

Islam dan Perubahan Politik Dunia Dalam Revolusi Ekologis

 

Dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi perubahan signifikan dalam arah kebijakan politik dan paradigma global yang semakin menekankan pentingnya etika lingkungan (environmental ethics) dalam pembangunan negara. Negara-negara di dunia mulai menyadari bahwa keberlanjutan ekonomi dan sosial tidak hanya bergantung kepada pembangunan infrastruktur semata, namun harus memperhatikan etika lingkungan. Paradigma ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia tidak lagi dianggap sebagai pusat dari sistem alam semesta (antroposentrisme), melainkan sebagai bagian integral dari seluruh komunitas ekologis (ekosentrisme).

 

Secara ekologis, makhluk hidup dan komponen abiotik lainnya saling terkait erat. Dengan demikian, tanggung jawab moral meluas tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada seluruh ekosistem makhluk hidup. Kita harus sadar bahwa bumi yang saat ini sedang kita injak itu penuh dengan kehidupan di bawahnya, seperti cacing-cacing yang menyuburkan tanah dan serangga yang hidup di dalamnya. Begitupun di atas tanah, terdapat burung dan kupu-kupu yang juga berperan penting dalam ekosistem. Dengan demikian, bukan hanya manusia yang memiliki hak atas kehidupan, tetapi ada juga hak pohon-pohon untuk tetap hijau, di bawah, ada hak cacing untuk tinggal di tanah, dan di atas, ada hak burung-burung untuk terus berkicau.

 

Paradigma ini sejalan dengan pandangan filsuf lingkungan Aldo Leopold, dalam bukunya "A Sand County Almanac," ia menekankan bahwa etika lingkungan harus mencakup hubungan manusia dengan tanah, hewan, dan seluruh alam. Aldo Leopold berargumen bahwa tanpa etika yang mencakup lingkungan, manusia akan terus mengeksploitasi alam hingga akhirnya merusak dirinya sendiri. Pandangan ini relevan dengan kondisi saat ini, di mana degradasi lingkungan merupakan akibat dari eksploitasi berlebihan yang didorong oleh kepentingan ekonomi.

 

Untuk merealisasikannya, PBB merumuskan Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2015, dimana di dalamnya mencakup 17 poin tujuan untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet, dan memastikan bahwa semua orang menikmati perdamaian dan kemakmuran pada tahun 2030.

 

Begitupun dalam ajaran Islam, manusia diperintahkan untuk senantiasa melestarikan alam. Alquran dengan tegas mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk menjaga alam. Allah Swt. berfirman: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini menjadi teguran keras bagi umat manusia bahwa kerusakan yang terjadi di bumi adalah akibat dari perbuatan kita sendiri. Rasulullah Saw. pun menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam dalam hadisnya: Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Allah telah menempatkan kamu sebagai penguasa di dalamnya dan Dia ingin melihat bagaimana kamu bertindak. (HR. Muslim).

 

Etika lingkungan mengajarkan umat Islam tidak hanya fokus pada kesejahteraan manusia, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya pada generasi mendatang. Maqashid Syariah, yang mencakup menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, dapat diinterpretasikan juga untuk melindungi lingkungan hidup (hifz al-bi’ah). Kerusakan alam secara langsung mengancam kelangsungan hidup manusia dan kesejahteraan generasi berikutnya. Sebagai khalifah di bumi, manusia memiliki tanggung jawab menjaga alam. Tanpa lingkungan yang sehat, semua aspek maqashid syariah terancam, seperti pencemaran air yang mengancam kesehatan manusia (hifz an-nafs) dan eksploitasi sumber daya alam yang membahayakan generasi mendatang (hifz an-nasl). Oleh karena itu, menjaga alam seharusnya diakui sebagai bagian integral dari maqashid syariah.

 

Dalam upaya ‘menebus dosa besar’ terhadap amanah yang diberikan oleh Allah Swt. muncul konsep wakaf hijau (green waqf) sebagai solusi yang inovatif dan berbasis spiritual keagamaan yang didedikasikan mengatasi masalah lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Berbeda dengan wakaf tradisional yang digunakan untuk membangun masjid, makam, madrasah (sekolah) atau fasilitas umum lainnya, green waqf memfokuskan asetnya pada proyek-proyek lingkungan seperti reboisasi, konservasi air, dan pengembangan energi terbarukan. Konsep wakaf ini merupakan cara konkret bagi umat Islam untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi.

 

Green Waqf sejalan dengan beberapa tujuan SDGs, seperti Tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim), Tujuan 14 (Lautan dan Sumber Daya Kelautan), dan Tujuan 15 (Ekosistem Daratan). Dengan demikian, Green Waqf bisa menjadi instrumen penting untuk mendukung upaya global dalam mencapai target SDGs, mengingat semakin banyak negara yang berkomitmen untuk melindungi lingkungan melalui pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai moral dan etika. Hal ini harus dilihat sebagai momentum yang tepat untuk memperkenalkan dan mengimplementasikan green waqf secara lebih luas. Indonesia -dengan kekayaan alamnya yang melimpah- memiliki potensi besar untuk menjadi pionir dalam green waqf, terutama dalam konteks global yang semakin peduli terhadap lingkungan.

 

Potensi Green Waqf di Indonesia

 

Green Waqf memiliki potensi besar di Indonesia. Berdasarkan Sistem Informasi Wakaf Kemenag (2022), tanah wakaf di Indonesia sudah tersebar di 440,5 ribu titik dengan total luas mencapai 57,2 ribu hektar. Potensi wakaf yang besar ini harus diimbangi dengan pengelolaan wakaf yang baik sehingga tidak terjadi ketimpangan antara potensi dan realisasi wakaf. Dengan Green Waqf, tanah atau aset wakaf dapat dimanfaatkan untuk proyek-proyek lingkungan seperti hutan konservasi, area pertanian organik, atau pembangkit energi terbarukan. Pendekatan ini tidak hanya mendukung upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga meningkatkan potensi green economy (ekonomi hijau) dengan memberdayakan masyarakat melalui penggunaan wakaf yang produktif dan berkelanjutan.

 

Contoh konkret dari penerapan Green Waqf di Indonesia adalah proyek MUI dan Yayasan Dana Wakaf Indonesia (YDWI). Programnya didedikasikan sebagai upaya membangun ketahanan pangan untuk kemandirian nasional melalui program tambak modern udang vaname pada Maret 2022, dan program penyelamatan lahan kritis dengan kampanye penanaman tamanu pada 14 juta lahan kritis di Indonesia menggunakan sumber pendanaan wakaf dan infaq.

 

Strategi Implementasi Green Waqf di Indonesia

 

Meskipun konsep green waqf memiliki potensi besar, penerapannya masih terhambat oleh beberapa faktor, terutama regulasi. Perlu adanya reformasi hukum yang memungkinkan perluasan dukungan regulasi yang kuat untuk proyek-proyek berbasis lingkungan.

 

1. Strategi Hukum dan Regulasi:

 

Regulasi wakaf secara eksplisit masih fokus pada tujuan sosial dan keagamaan tradisional. Di Indonesia, diperlukan reformasi hukum untuk memperluas cangkupan wakaf dan mendukung proyek-proyek wakaf berbasis lingkungan seperti Green Waqf. Pemerintah perlu mengembangkan regulasi khusus Green Waqf yang mencakup mekanisme perizinan, pengelolaan, serta laporan aset wakaf untuk mengaktualisasikan potensi yang ada.

 

2. Strategi Implementasi:

 

  • Kolaborasi Sektor Swasta: Badan Wakaf Indonesia (BWI) dapat bekerja sama dengan sektor swasta yang memiliki program corporate social responsibility (CSR) atau perusahaan BUMN yang concern Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) terhadap keberlanjutan lingkungan. Kolaborasi ini dapat menghasilkan proyek yang lebih besar dan signifikan.

 

  • Edukasi dan Sosialisasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya Green Waqf melalui program edukasi dan sosialisasi. Langkah ini bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan media untuk publikasi dan campaign secara masif, serta kerja sama dengan lembaga pendidikan untuk mengintegrasikan materi Green Waqf dapat diadopsi kurikulum pendidikan.

 

  • Penggunaan Teknologi: Meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan Green Waqf seperti platform digital untuk berpartisipasi dan melaporkan perkembangan proyek Green Waqf.

 

3. Potensi Ekonomi dan Lingkungan:

 

Green Waqf dapat mendukung Green Economy di Indonesia dengan memanfaatkan aset wakaf untuk proyek berkelanjutan, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi ketergantungan pada energi fosil, dan mendorong pertumbuhan ekonomi ramah lingkungan. Selain itu, proyek-proyek seperti konservasi hutan dan rehabilitasi lahan kritis akan berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan mendukung komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati.

 

Green Waqf bukan sekadar hanya konsep yang relevan dalam Islam, tetapi juga menawarkan solusi konkret bagi tantangan lingkungan global. Potensi etis dari green waqf yang sejalan dengan kefitrahan manusia dalam Islam, dapat menawarkan alternatif terhadap paradigma lingkungan dan ekonomi yang mainstream saat ini. Gerakan ini mengusung perspektif keadilan sosial melalui wakaf, yang mengembalikan kesetaraan antara manusia dan alam, sebuah prinsip yang menurut penulis perlu terus digaungkan. Seperti kearifan di dalam Surah Adz-Dzariyat: 19, “dalam kekayaan kita terdapat hak orang lain, termasuk hak alam atas kita”. Wakaf saat ini telah menjadi bagian dari gaya hidup dan bagian integral dari kehidupan kita yang baru, dan Green Waqf adalah solusi langkah selanjutnya dalam perjalanan kita.

 

Mari bergerak bersama dan melakukan perubahan nyata melalui Green Waqf demi masa depan dunia yang lebih cerah!

 

Penulis: Muhammad Alfi Maulana, Roudhotul Firdaus

Lembaga Wakaf Masyarakat Ekonomi Syariah

Illustasi: LW MES

 


Informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

PENGURUS PUSAT MASYARAKAT EKONOMI SYARIAH
Instagram: @wakaf.mes - @mes.indonesia
 

Alamat: Kantor Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah
Jl. Tebet Dalam IV E No. 70, Tebet Barat, Jakarta Selatan – 12810

Telp      : 021 829 9746 / 021 829 9747
UP        : 0856 427 222 40 (Roudotul Firdaus)